Tugas
Individu
Mata
Kuliah: Sosiologi Hukum
HUKUM
DAN
KESADARAN
MASYARAKAT
RAFIUDDIN
086614063
JURUSAN
SOSIOLOGI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2012
HUKUM
DAN KESADARAN MASYARAKAT
- Hukum Dalam Masyarakat
‘Hukum Dalam
Masyarakat’ yang di dalam kepustakaan berbahasa Inggris diistilahi
‘Law in Society’, dan yang di dalam kurikulum berbagai program
studi hukum di Indonesia sejak tahun 1980an secara salah kaprah
diistilahi Sosiologi Hukum, adalah salah satu cabang kajian
tentang hukum sebagaimana adanya di dalam masyarakat.
Mempunyai perhatian
yang lebih khusus, yang sedikit-banyak membedakan diri dari kajian
ilmu hukum yang klasik, tetapi juga membedakan diri dari cabang
kajian ilmu-ilmu sosial yang lain, kajian ‘hukum dalam masyarakat’
ini hendak berfokus pada masalah otoritas dan kontrol yang
memungkinkan kehidupan kolektif manusia itu selalu berada dalam
keadaan yang relatif tertib dan berketeraturan. Kekuatan
kontrol dan otoritas pemerintah sebagai pengemban kekuasaan negara
yang mendasari kontrol itulah yang disebut ‘hukum’ atau tepatnya
diseyogyakan untuk disebut agak lengkap dengan istilah ‘hukum
undang-undang nasional’.. Maka, dalam hubungan ini tidaklah
keliru kalau Black mendefinisikan hukum sebagai government’s
social control.
Dalam kehidupan
masyarakat pra-modern, tatkala kehidupan itu masih berada pada
skalanya dan formatnya yang lokal, kehidupan suatu komunitas, yang di
dalam kajian sosiologi hukum sering juga disebut ‘hukum rakyat’,
dan yang didalam ilmu hukum disebut ‘hukum kebiasaan’ atau ‘hukum
adat’.
Dalam perkembangan
kehidupan yang lebih mutakhir, tatkala kehidupan bernegara bangsa
menggantikan kehidupan-kehidupan lokal yang berskala kecil dan
eksklusif, apa yang disebut hukum itu mulai menampakkan wujudnya yang
tertulis. Inilah yang disebut hukum undang-undang, yang ditulis
dalam rumusan-rumusan yang lebih eksak, dibentuk atau dibuat melalui
prosedur tertentu, dan terstruktur atau terlembagakan sebagai sarana
kontrol yang nyata-nyata formal sifatnya, yang oleh sebab itu akan
ditunjang oleh otoritas kekuasaan negara yang berkewenangan untuk
mendayagunakan sanksi.
- Permasalahan Hukum
Salah satu fungsi
hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik,
disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat
rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika
terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan
dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan
dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan
tidak memihak.
Pelaksanaan hukum
di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh
masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan,
dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang
seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi
setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat
diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. )
Seiring dengan
runtuhnya rezim pada tahun 1998, masyarakat yang tertindas oleh hukum
bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak
dahulu. Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur
hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah
persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan yang mengakibatkan
perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya. )
Pengembalian
kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian
konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat
Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak
terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya
sendiri.
Permasalahan hukum
di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem
peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya
permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan
oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh
aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan
masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang
lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan
hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun
cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya,
dan sebagainya).
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Misalnya; peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata. Tumbangnya rezim tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum. Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Misalnya; peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata. Tumbangnya rezim tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum. Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.
- Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Kasus-kasus
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa
hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang
banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari
keadilan itu sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui
media cetak dan elektronik.
beberapa kasus yang
pernah kita dengar misalnya Nenek Rasminah yang mencuri enam buah
piring dihukum 130 hari,Kakek Rawi yang mencuri 500 gram merica
terancam lima tahun penjara, serta Nenek Minah divonis 1,5 bulan
kurungan karena terbukti bersalah mencuri tiga buah kakao. Dukungan,
simpati, serta empati masyarakat mengalir deras dalam berbagai bentuk
untuk kasus-kasus tersebut.
Sebaliknya, dalam
kasuskasus yang melibatkan orangorang besar, entah dari
kalanganpengusaha, birokrat,politikus, artis,ataupun berbagai elemen
masyarakat lainnya yang dinilai memiliki pengaruh di Republik ini,
proses penegakan hukumnya kerap dipandang sebelah mata dan tidak
dipercaya. Belum-belum berjalan, pandangan masyarakat sudah antipati
bahwa yang bersangkutan akan mendapatkan perlakuan istimewa mulai
proses penyidikan hingga putusan nanti.
- Pengaruh Eksistensi Masyarakat dalam Efektivitas Hukum
Apabila ditilik
dari proses perkembangan hukum dalam sejarah terhadap hubungan dengan
eksistensi dan peranan dari kesadaran hukum masyarakat ini dalam
tubuh hukum positif, terdapat suatu proses pasang surut dalam
bentangan waktu yang teramat panjang. Hukum masyarakat primitif,
jelas merupakan hukum yang sangat berpengaruh, bahkan secara total
merupakan penjelmaan dari hukum masyarakatnya.
Masalah kesadaran
hukum masyarakat mulai lagi berperan dalam pembentukan, penerapan,
dan penganalisan hukum. Dengan demikian, terhadap hukum dalam
masyarakat maju berlaku ajaran yang disebut dengan co-variant theory.
Teory ini mengajarkan bahwa ada kecocokan antara hukum dan
bentuk-bentuk prilaku hukum. Disamping itu berlaku juga doktrin
volksgeist (jiwa bangsa) dan rechtsbemu stzijn (kesadaran hukum)
sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich misalanya
doktrin-doktrin tersebut mengajarkan bahwa hukum haruslah sesuai
dengan jiwa bangsa/kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum
dipandang sebagai mediator antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku
manusia dalam masyarakat.
Kesadaran hukum
dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan
merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap
kesadaran hukum masyarakat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan
hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat
maju orang yang patuh pada hukum karena memang jiwanya sadar bahwa
mereka membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengatur
masyarakat secara baik benar dan adil. Sebaliknya dalam masyarakat
tradisional kesadaran hukum masyarakat berpengaruh secara tidak
langsung pada kepatuhan hukum.
Dalam hal ini
mereka patuh pada hukum bukan karena keyakinannya secara langsung
bahwa hukum itu baik atau karena mereka memang membutuhkan hukum
melainkan mereka patuh pada hukum lebih karena dimintakan, bahkan
dipaksakan oleh para pemimpinnya (formal atau informal) atau karena
perintah agama atau kepercayaannya.
- Keadilan Hukum
Berawal dari
kasus-kasus yang mengusik rasa keadilan, sorotan berbagai media pun
mengarah pada penegakan hukum yang dinilai pro terhadap si kaya dan
menindas kaum miskin.
Bahkan, sampai
muncul ungkapan bahwa penegakan hukum di negeri ini tajam ke bawah
dan tumpul ke atas. Sebut saja beberapa kasus yang pernah kita dengar
misalnya Nenek Rasminah yang mencuri enam buah piring dihukum 130
hari,Kakek Rawi yang mencuri 500 gram merica terancam lima tahun
penjara, serta Nenek Minah divonis 1,5 bulan kurungan karena terbukti
bersalah mencuri tiga buah kakao. Dukungan, simpati, serta empati
masyarakat mengalir deras dalam berbagai bentuk untuk kasus-kasus
tersebut.
Dari kasus-kasus
semacam ini, biasanya berbagai media baik elektronik dan cetak
memberitakan secara gencar karena dinilai memiliki nilai pemberitaan
yang tinggi. Namun yang disayangkan adalah, bahwa ketika pengambil
keputusan atau pengadilan telah menjatuhkan putusan, opini dan
pemberitaan yang berkembang di masyarakat kerap menunjukkan
kekecewaan. Seolah-olah sudah terpasang “kuda-kuda” bahwa mereka
harusnya dinyatakan tidak bersalah atau tidak dihukum, karena mereka
hanyalah segelintir korban rakyat kecil yang terzalimi oleh sistem
penegakan hukum di negeri ini.
Sebaliknya, dalam
kasus-kasus yang melibatkan orang-orang besar, entah dari kalangan
pengusaha, birokrat,politikus, artis, ataupun berbagai elemen
masyarakat lainnya yang dinilai memiliki pengaruh di Republik ini,
proses penegakan hukumnya kerap dipandang sebelah mata dan tidak
dipercaya. Belum-belum berjalan, pandangan masyarakat sudah antipati
bahwa yang bersangkutan akan mendapatkan perlakuan istimewa mulai
proses penyidikan hingga putusan nanti.
Pada
akhirnya,bilamana seseorang yang didakwa sebagai koruptor kemudian
diputus bebas maka dengan mudahnya terbentuk opini bahwa pasti ada
main mata dalam pengambilan putusan tersebut. Atau juga misalnya
ketika seorang yang secara status ekonominya lebih kuat berhadapan
dengan rakyat kecil yang kedudukan sosial-ekonominya lebih lemah,maka
opini media dan masyarakat kerap membela rakyat kecil tersebut yang
mereka anggap pasti terzalimi tanpa melibat lebih dulu secara saksama
hal-hal yang menjadi pokok permasalahannya.
- Kesamaan Kedudukan
Sesungguhnya, hukum
telah mengatur bahwa kedudukan setiap warga negara adalah sama di
hadapan hukum. Penegakan hukum dilakukan tanpa melihat apakah yang
bersangkutan kaya atau miskin, kuat atau lemah.Hal inilah yang
disebut sebagai kesamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before
the law). Jadi,dalam penegakan hukum yang seharusnya dititikberatkan
adalah mengenai perbuatannya. Jika salah atau melanggar, hendaklah
dinyatakan salah dan jika benar hendaklah dinyatakan tidak bersalah.
Pandangan dan opini
masyarakat terhadap suatu kasus tertentu memang diperlukan seiring
dengan proses pembelajaran demokrasi di negeri ini.Namun demikian,
hendaknya pandangan tersebut tidaklah bersifat skeptis dan antipati
terhadap golongan tertentu. Sebaliknya, pandangan tersebut hendaknya
diberikan dari sisi objektif akan perbuatan yang dilakukan.Ketika
pengadil telah mengetuk palu dan menjatuhkan putusan, di sinilah
diperlukan kedewasaan kita untuk menghormati putusan yang telah
melalui proses pemeriksaan tersebut.
Menurut Prof
Soerjono Soekanto, penegakan hukum itu sendiri memiliki berbagai
faktor seperti faktor hukumnya itu sendiri (peraturan), faktor sarana
atau fasilitas penegakan hukum,faktor masyarakat,kebudayaan, serta
faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum. Faktor-faktor ini saling bersinergi dan melengkapi
satu dan yang lain sehingga menghasilkan suatu produk penegakan
hukum. Sebagai salah satu faktor penegakan hukum,dalam menjatuhkan
putusan, hakim juga tidak dapat hanya sebagai corong undang-undang.
Hakim wajib
menggali,mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalammasyarakatsebagaimana disyaratkan dalam ketentuan
Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Salah satu contoh putusan yang dapat kita perhatikan
antara lain kasus pencurian sandal jepit yang menimpa AAL.Kasus ini
membuat geger salah satunya adalah karena ternyata sandal barang
bukti sandal yang dicuri berbeda dengan sandal yang dilaporkan hilang
oleh sang anggota kepolisian.
Atas hal ini pun,
masyarakat kemudian bereaksi melakukan gerakan mengumpulkan seribu
sandal jepit sebagai bentuk dukungan terhadap sang anak. Seandainya
secara hukum sang anak terbukti bersalah melakukan pencurian, di sini
hakim berperan menerapkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dalam kasus ini, hakim tingkat pertama tidak menjatuhkan hukuman
pidana kepada sang anak, tetapi mengembalikan kepada orang tuanya
untuk diberikan pembinaan.
Putusan semacam
inilah yang menurut hemat penulis telah menempatkan hukum di dalam
koridornya sehingga tidak hanya dijadikan alat untuk kepentingan
tertentu. Bagaimanapun,seandainya perbuatan yang terbukti salah
secara hukum haruslah dinyatakan sebagai perbuatan yang salah.Namun
dengan mempertimbangkan berbagai nilainilai yang hidup dalam
masyarakat, putusan atau hukuman yang dijatuhkan harus juga
menunjukkan suatu kearifan yang berkeadilan dengan mempertimbangkan
berbagai faktor penegakan hukum sebagaimana disebutkan di atas.
Menghukum pelaku
dengan sanksi pidana bukanlah merupakan tujuan utama dari hukum
pidana.Hukum pidana hendaknya dilihat sebagai ultimum remedium atau
upaya terakhir dalam rangka penegakan keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat. Mudahmudahan dengan terpilihnya Ketua Mahkamah Agung yang
baru penegakan hukum di Indonesia dapat lebih berkeadilan, sehingga
masyarakat pun dapat lebih percaya akan proses serta produk penegakan
hukum di negeri ini. (Sumber: Seputar Indonesia, 23 Februari 2012).
- Kesadaran Hukum Masyarakat
Kesadaran hukum
adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu
atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup
kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak
hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak
seyogyanya dilakukan (Scholten, 1954: 166) .
Kesadaran tentang
apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan
perlindungan kepentingan manusia. Bukankah hukum itu merupakan kaedah
yang fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia? Karena
jumlah manusia itu banyak, maka kepentingannyapun banyak dan beraneka
ragam pula serta bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak mustahil
akan terjadinya pertentangan antara kepentingan manusia. Kalau semua
kepentingan manusia itu dapat dipenuhi tanpa terjadinya sengketa atau
pertentangan, kalau segala sesuatu itu terjadi secara teratur tidak
akan dipersoalkan apa hukum itu, apa hukumnya, siapa yang berhak atau
siapa yang bersalah. Kalau terjadi seseorang dirugikan oleh orang
lain, katakanlah dua orang pengendara sepeda motor saling
bertabrakan, maka dapatlah dipastikan bahwa, kalau kedua pengendara
itu masih dapat berdiri setelah jatuh bertabrakan, akan saling
menuduh dengan mengatakan “Kamulah yang salah, kamulah yang
melanggar peraturan lalu lintas” atau “Saya terpaksa melanggar
peraturan lalu lintas karena kamu yang melanggar peraturan lalu
lintas lebih dulu”. Kalau tidak terjadi tabrakan, kalau tidak
terjadi pertentangan kepentingan, sekalipun semua pengendara
kendaraan mengendarai kendaraannya simpang siur tidak teratur, selama
tidak terjadi tabrakan, selama kepentingan manusia tidak terganggu,
tidak akan ada orang yang mempersoalkan tentang hukum.
Kepentingan-kepentingan
manusia itu selalu diancam oleh segala macam bahaya: pencurian
terhadap harta kekayaannya, pencemaran terhadap nama baiknya,
pembunuhan dan sebagainya. Maka oleh karena itulah manusia memerlukan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Salah satu
perlindungan kepentingan itu adalah hukum. Dikatakan salah satu oleh
karena disamping hukum masih ada perlindungan kepentingan lain:
kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan dan kaedah kesopanan.
Dari uraian tersebut
di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa timbulnya hukum itu pada
hakekatnya ialah karena terjadinya bentrok atau konfik antara
kepentingan manusia atau “conflict of human interest” (Post dalam
Soerjono Soekanto, 1975: 35)
Dalam melindungi
kepentingannya masing-masing, maka manusia di dalam masyarakat harus
mengingat, memperhitungkan, menjaga dan menghormati kepentingan
manusia lain, jangan sampai terjadi pertentangan atau konflik yang
merugikan orang lain. Tidak boleh kiranya dalam melindungi
kepentingannya sendiri, dalam melaksanakan haknya, berbuat semaunya,
sehingga merugikan kepentingan manusia lain (eigenrichtig).
Jadi kesadaran hukum
berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau
perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama
terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita
masing-masing terhadap orang lain. Kesadaran hukum mengandung sikap
tepo sliro atau toleransi. Kalau saya tidak mau diperlakukan demikian
oleh orang lain, maka saya tidak boleh memperlakukan orang lain
demikian pula, sekalipun saya sepenuhnya melaksanakan hak saya. Kalau
saya tidak suka tetangga saya berbuat gaduh di malam hari dengan
membunyikan radionya keras-keras, maka saya tidak boleh berbuat
demikian juga. Tepo sliro berarti bahwa seseorang harus mengingat,
memperhatikan, memperitungkan dan menghormati kepentingan orang lain
dan terutama tidak merugikan orang lain. Penyalah gunaan hak atau
abus de droit seperti misalnya mengendarai sepeda motor milik sendiri
yang diperlengkapi dengan knalpot yang dibuat sedemikian sehingga
mengeluarkan bunyi yang keras sehingga memekakan telinga jelas
bertentangan dengan sikap tepo sliro.
Kesadaran akan
kewajiban hukum tidak semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum
terhadap ketentuan undang-undang saja, tidak berarti kewajiban untuk
taat kepada undang-undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak
tertulis. Bahkan kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul
dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Kalau
suatu peristtiwa terjadi secara terulang dengan teratur atau ajeg,
maka lama-lama akan timbul pandangan atau anggapan bahwa memang
demikianlah seharusnya atau seyogyanya dan hal ini akan menimbulkan
pandangan atau kesadaran bahwa demikianlah hukumnya atau bahwa hal
itu merupakan kewajiban hukum. Suatu peristiwa yang terjadi
berturut-turut secara ajeg dan oleh karena itu lalu biasa dilakuan
dan disebut kebiasaan, lama-ama akan mempunyai kekuatan mengikat (die
normatieve Kraft des Faktischen).
Memang keadaan akan
kewajiban hukum itu merupakan salah satu faktor untuk timbulnya hukum
kebiasaan. Faktor lain untuk timbulnya hukum kebiasaan ialah
terjadinya sesuatu yang ajeg. Akan tetapi kesadaran akan kewajiban
hukum tidak perlu menunggu sampai terjadinya suatu peristiwa secara
berulang. Suatu peristiwa cukup terjadi sekali saja untuk dapat
memperoleh kekuatan mengikat asal peristiwa yang hanya terjadi sekali
saja itu cukup menyebabkan timbulnya kesadaran bahwa peristiwa atau
perbuatan itu seyogyanya terjadi atau dilakukan.
Kesimpulan
Dalam
perkembangan hukum dan masyarakat yang semakin pesat, penekanan hukum
pada kekuasaan mulai dikritisi dan diarahkan kepada rasionalitas
substansif yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada
pada masyrakat, sehingga diperlukan rematerialisasi hukum.
Hukum
dibutuhkan oleh manusia karena hukum memiliki arti dan fungsi yang
penting bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sulit rasanya
membayangkan apabila suatu masyarakat tanpa adanya hukum. Mungkin
akan terjadi kehancuran dalam keutuhan masyarakat. Arti pentingnya
hukum bagi manusia dan masyarakat setidaknya dapat dilihat dari dua
aspek. Pertama
dengan melihat pada potensi hukum sebagai sarana penyelesaian
sengketa. Kedua,
melihat kepada potensi hukum untuk mempersatukan segenap unsur yang
beragam di masyarkat.
Oleh
karenanya seluruh struktur hukum yang menjadi tumpuan dari pencari
keadilan haruslah menjalankan fungsi hukum itu sendiri sebagai mana
mestinya. Jika mereka hanya asyik dengan pasal, ayat dari peraturan
perundangan, karena mereka masih meninabobokan cara pandang legalisme
yang menempatkan primat kepastian hukum di atas segala- galanya.
Sehingga
ketika masyarakat tidak mentaati hukum bukan karena mereka tidak
paham dan ingin melanggar hukum tetapi mereka merasa “dianaktirikan”
di republik ini. Terbetik dalam nurani masyarakat “kita tidak harus
mentaati aturan hukum secara mutlak jika ternyata diduga aparat
penegak hukum telah membuat aturan tersebut sudah jauh dari nilai-
nilai keadilan dalam masyarakat atau aparat penegak hukum diduga
telah menghancurkan rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat”.
Dengan
kata lain untuk menumbuhkan kesadaran hukum dalam masyarakat aparat
hukum seperti hakim, jaksa, polisi, dan bahkan kepada pengacara yang
memiliki motto maju terus membela yang benar. Haruslah membuktikan
kepada masyarakat bahwa hokum yang berjalan betul-betul adil dan juga
dapat mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat luas.
Hal
ini menunjukkan betapa penting peran aparat penegak hukum dalam
menjunjung tinggi kepastian hukum dan keadilan bagi setiap orang yang
bermasalah dihadapan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Dwi Narwoko, J. &
Bagong Suyanto (ed.) Sosiologi:
Teks Pengantar dan Terapan,
Kencana,
Jakarta, 2007.
Indrianto
Senoadji.Humanisme dan pembaruan Penegakan Hukum. Kompas,
Jakarta: 2009.
Mahfud MD, Kompas tgl 7 Januari 2010.
Mahfud MD, Kompas tgl 7 Januari 2010.
Sahri, Efektivitas
Hukum dalam Masyarakat. MHS S2 Hukum Untag.Satjipto Rahardjo,
Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti. Bandung: 2000.
Sofia, Kesadaran
Hukum Masyarakat dan Pengaruhnya bagi Efektivitas Perkembangan Hukum.