Halaman

Senin, 17 September 2012

HUKUM DAN KESADARAN MASYARAKAT

Tugas Individu
Mata Kuliah: Sosiologi Hukum


HUKUM
DAN
KESADARAN MASYARAKAT










RAFIUDDIN
086614063


JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2012


 HUKUM DAN KESADARAN MASYARAKAT
  1. Hukum Dalam Masyarakat  
‘Hukum Dalam Masyarakat’ yang di dalam kepustakaan berbahasa Inggris diistilahi ‘Law in Society’, dan yang di dalam kurikulum berbagai program studi hukum di Indonesia sejak tahun 1980an secara salah kaprah diistilahi Sosiologi Hukum,  adalah salah satu cabang kajian tentang hukum sebagaimana adanya di dalam masyarakat. 
Mempunyai perhatian yang lebih khusus, yang sedikit-banyak membedakan diri dari kajian ilmu hukum yang klasik, tetapi juga membedakan diri dari cabang kajian ilmu-ilmu sosial yang lain, kajian ‘hukum dalam masyarakat’ ini hendak berfokus pada masalah otoritas dan kontrol yang memungkinkan kehidupan kolektif manusia itu selalu berada dalam keadaan yang relatif tertib dan berketeraturan.  Kekuatan kontrol dan otoritas pemerintah sebagai pengemban kekuasaan negara yang mendasari kontrol itulah yang disebut ‘hukum’ atau tepatnya diseyogyakan untuk disebut agak lengkap dengan istilah ‘hukum undang-undang nasional’..  Maka, dalam hubungan ini tidaklah keliru kalau Black mendefinisikan hukum sebagai government’s social control.
Dalam kehidupan masyarakat pra-modern, tatkala kehidupan itu masih berada pada skalanya dan formatnya yang lokal, kehidupan suatu komunitas, yang di dalam kajian sosiologi hukum sering juga disebut ‘hukum rakyat’, dan yang didalam ilmu hukum disebut ‘hukum kebiasaan’ atau ‘hukum adat’.
Dalam perkembangan kehidupan yang lebih mutakhir, tatkala kehidupan bernegara bangsa menggantikan kehidupan-kehidupan lokal yang berskala kecil dan eksklusif, apa yang disebut hukum itu mulai menampakkan wujudnya yang tertulis.  Inilah yang disebut hukum undang-undang, yang ditulis dalam rumusan-rumusan yang lebih eksak, dibentuk atau dibuat melalui prosedur tertentu, dan terstruktur atau terlembagakan sebagai sarana kontrol yang nyata-nyata formal sifatnya, yang oleh sebab itu akan ditunjang oleh otoritas kekuasaan negara yang berkewenangan untuk mendayagunakan sanksi.


  1. Permasalahan Hukum
Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak.
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. )
Seiring dengan runtuhnya rezim pada tahun 1998, masyarakat yang tertindas oleh hukum bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan yang mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya. )
Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Misalnya; peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata. Tumbangnya rezim tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum. Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.
  1. Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik.
beberapa kasus yang pernah kita dengar misalnya Nenek Rasminah yang mencuri enam buah piring dihukum 130 hari,Kakek Rawi yang mencuri 500 gram merica terancam lima tahun penjara, serta Nenek Minah divonis 1,5 bulan kurungan karena terbukti bersalah mencuri tiga buah kakao. Dukungan, simpati, serta empati masyarakat mengalir deras dalam berbagai bentuk untuk kasus-kasus tersebut.
Sebaliknya, dalam kasuskasus yang melibatkan orangorang besar, entah dari kalanganpengusaha, birokrat,politikus, artis,ataupun berbagai elemen masyarakat lainnya yang dinilai memiliki pengaruh di Republik ini, proses penegakan hukumnya kerap dipandang sebelah mata dan tidak dipercaya. Belum-belum berjalan, pandangan masyarakat sudah antipati bahwa yang bersangkutan akan mendapatkan perlakuan istimewa mulai proses penyidikan hingga putusan nanti.
  1. Pengaruh Eksistensi Masyarakat dalam Efektivitas Hukum
Apabila ditilik dari proses perkembangan hukum dalam sejarah terhadap hubungan dengan eksistensi dan peranan dari kesadaran hukum masyarakat ini dalam tubuh hukum positif, terdapat suatu proses pasang surut dalam bentangan waktu yang teramat panjang. Hukum masyarakat primitif, jelas merupakan hukum yang sangat berpengaruh, bahkan secara total merupakan penjelmaan dari hukum masyarakatnya.
Masalah kesadaran hukum masyarakat mulai lagi berperan dalam pembentukan, penerapan, dan penganalisan hukum. Dengan demikian, terhadap hukum dalam masyarakat maju berlaku ajaran yang disebut dengan co-variant theory. Teory ini mengajarkan bahwa ada kecocokan antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku hukum. Disamping itu berlaku juga doktrin volksgeist (jiwa bangsa) dan rechtsbemu stzijn (kesadaran hukum) sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich misalanya doktrin-doktrin tersebut mengajarkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan jiwa bangsa/kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum dipandang sebagai mediator antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku manusia dalam masyarakat.
Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap kesadaran hukum masyarakat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat maju orang yang patuh pada hukum karena memang jiwanya sadar bahwa mereka membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengatur masyarakat secara baik benar dan adil. Sebaliknya dalam masyarakat tradisional kesadaran hukum masyarakat berpengaruh secara tidak langsung pada kepatuhan hukum.
Dalam hal ini mereka patuh pada hukum bukan karena keyakinannya secara langsung bahwa hukum itu baik atau karena mereka memang membutuhkan hukum melainkan mereka patuh pada hukum lebih karena dimintakan, bahkan dipaksakan oleh para pemimpinnya (formal atau informal) atau karena perintah agama atau kepercayaannya.




  1. Keadilan Hukum
Berawal dari kasus-kasus yang mengusik rasa keadilan, sorotan berbagai media pun mengarah pada penegakan hukum yang dinilai pro terhadap si kaya dan menindas kaum miskin.
Bahkan, sampai muncul ungkapan bahwa penegakan hukum di negeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sebut saja beberapa kasus yang pernah kita dengar misalnya Nenek Rasminah yang mencuri enam buah piring dihukum 130 hari,Kakek Rawi yang mencuri 500 gram merica terancam lima tahun penjara, serta Nenek Minah divonis 1,5 bulan kurungan karena terbukti bersalah mencuri tiga buah kakao. Dukungan, simpati, serta empati masyarakat mengalir deras dalam berbagai bentuk untuk kasus-kasus tersebut.
Dari kasus-kasus semacam ini, biasanya berbagai media baik elektronik dan cetak memberitakan secara gencar karena dinilai memiliki nilai pemberitaan yang tinggi. Namun yang disayangkan adalah, bahwa ketika pengambil keputusan atau pengadilan telah menjatuhkan putusan, opini dan pemberitaan yang berkembang di masyarakat kerap menunjukkan kekecewaan. Seolah-olah sudah terpasang “kuda-kuda” bahwa mereka harusnya dinyatakan tidak bersalah atau tidak dihukum, karena mereka hanyalah segelintir korban rakyat kecil yang terzalimi oleh sistem penegakan hukum di negeri ini.
Sebaliknya, dalam kasus-kasus yang melibatkan orang-orang besar, entah dari kalangan pengusaha, birokrat,politikus, artis, ataupun berbagai elemen masyarakat lainnya yang dinilai memiliki pengaruh di Republik ini, proses penegakan hukumnya kerap dipandang sebelah mata dan tidak dipercaya. Belum-belum berjalan, pandangan masyarakat sudah antipati bahwa yang bersangkutan akan mendapatkan perlakuan istimewa mulai proses penyidikan hingga putusan nanti.
Pada akhirnya,bilamana seseorang yang didakwa sebagai koruptor kemudian diputus bebas maka dengan mudahnya terbentuk opini bahwa pasti ada main mata dalam pengambilan putusan tersebut. Atau juga misalnya ketika seorang yang secara status ekonominya lebih kuat berhadapan dengan rakyat kecil yang kedudukan sosial-ekonominya lebih lemah,maka opini media dan masyarakat kerap membela rakyat kecil tersebut yang mereka anggap pasti terzalimi tanpa melibat lebih dulu secara saksama hal-hal yang menjadi pokok permasalahannya.
  • Kesamaan Kedudukan
Sesungguhnya, hukum telah mengatur bahwa kedudukan setiap warga negara adalah sama di hadapan hukum. Penegakan hukum dilakukan tanpa melihat apakah yang bersangkutan kaya atau miskin, kuat atau lemah.Hal inilah yang disebut sebagai kesamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Jadi,dalam penegakan hukum yang seharusnya dititikberatkan adalah mengenai perbuatannya. Jika salah atau melanggar, hendaklah dinyatakan salah dan jika benar hendaklah dinyatakan tidak bersalah.
Pandangan dan opini masyarakat terhadap suatu kasus tertentu memang diperlukan seiring dengan proses pembelajaran demokrasi di negeri ini.Namun demikian, hendaknya pandangan tersebut tidaklah bersifat skeptis dan antipati terhadap golongan tertentu. Sebaliknya, pandangan tersebut hendaknya diberikan dari sisi objektif akan perbuatan yang dilakukan.Ketika pengadil telah mengetuk palu dan menjatuhkan putusan, di sinilah diperlukan kedewasaan kita untuk menghormati putusan yang telah melalui proses pemeriksaan tersebut.
Menurut Prof Soerjono Soekanto, penegakan hukum itu sendiri memiliki berbagai faktor seperti faktor hukumnya itu sendiri (peraturan), faktor sarana atau fasilitas penegakan hukum,faktor masyarakat,kebudayaan, serta faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Faktor-faktor ini saling bersinergi dan melengkapi satu dan yang lain sehingga menghasilkan suatu produk penegakan hukum. Sebagai salah satu faktor penegakan hukum,dalam menjatuhkan putusan, hakim juga tidak dapat hanya sebagai corong undang-undang.
Hakim wajib menggali,mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalammasyarakatsebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Salah satu contoh putusan yang dapat kita perhatikan antara lain kasus pencurian sandal jepit yang menimpa AAL.Kasus ini membuat geger salah satunya adalah karena ternyata sandal barang bukti sandal yang dicuri berbeda dengan sandal yang dilaporkan hilang oleh sang anggota kepolisian.
Atas hal ini pun, masyarakat kemudian bereaksi melakukan gerakan mengumpulkan seribu sandal jepit sebagai bentuk dukungan terhadap sang anak. Seandainya secara hukum sang anak terbukti bersalah melakukan pencurian, di sini hakim berperan menerapkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam kasus ini, hakim tingkat pertama tidak menjatuhkan hukuman pidana kepada sang anak, tetapi mengembalikan kepada orang tuanya untuk diberikan pembinaan.
Putusan semacam inilah yang menurut hemat penulis telah menempatkan hukum di dalam koridornya sehingga tidak hanya dijadikan alat untuk kepentingan tertentu. Bagaimanapun,seandainya perbuatan yang terbukti salah secara hukum haruslah dinyatakan sebagai perbuatan yang salah.Namun dengan mempertimbangkan berbagai nilainilai yang hidup dalam masyarakat, putusan atau hukuman yang dijatuhkan harus juga menunjukkan suatu kearifan yang berkeadilan dengan mempertimbangkan berbagai faktor penegakan hukum sebagaimana disebutkan di atas.
Menghukum pelaku dengan sanksi pidana bukanlah merupakan tujuan utama dari hukum pidana.Hukum pidana hendaknya dilihat sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir dalam rangka penegakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Mudahmudahan dengan terpilihnya Ketua Mahkamah Agung yang baru penegakan hukum di Indonesia dapat lebih berkeadilan, sehingga masyarakat pun dapat lebih percaya akan proses serta produk penegakan hukum di negeri ini. (Sumber: Seputar Indonesia, 23 Februari 2012).
  1. Kesadaran Hukum Masyarakat
Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan (Scholten, 1954: 166) .
Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Bukankah hukum itu merupakan kaedah yang fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia? Karena jumlah manusia itu banyak, maka kepentingannyapun banyak dan beraneka ragam pula serta bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak mustahil akan terjadinya pertentangan antara kepentingan manusia. Kalau semua kepentingan manusia itu dapat dipenuhi tanpa terjadinya sengketa atau pertentangan, kalau segala sesuatu itu terjadi secara teratur tidak akan dipersoalkan apa hukum itu, apa hukumnya, siapa yang berhak atau siapa yang bersalah. Kalau terjadi seseorang dirugikan oleh orang lain, katakanlah dua orang pengendara sepeda motor saling bertabrakan, maka dapatlah dipastikan bahwa, kalau kedua pengendara itu masih dapat berdiri setelah jatuh bertabrakan, akan saling menuduh dengan mengatakan “Kamulah yang salah, kamulah yang melanggar peraturan lalu lintas” atau “Saya terpaksa melanggar peraturan lalu lintas karena kamu yang melanggar peraturan lalu lintas lebih dulu”. Kalau tidak terjadi tabrakan, kalau tidak terjadi pertentangan kepentingan, sekalipun semua pengendara kendaraan mengendarai kendaraannya simpang siur tidak teratur, selama tidak terjadi tabrakan, selama kepentingan manusia tidak terganggu, tidak akan ada orang yang mempersoalkan tentang hukum.
Kepentingan-kepentingan manusia itu selalu diancam oleh segala macam bahaya: pencurian terhadap harta kekayaannya, pencemaran terhadap nama baiknya, pembunuhan dan sebagainya. Maka oleh karena itulah manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Salah satu perlindungan kepentingan itu adalah hukum. Dikatakan salah satu oleh karena disamping hukum masih ada perlindungan kepentingan lain: kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan dan kaedah kesopanan.
Dari uraian tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa timbulnya hukum itu pada hakekatnya ialah karena terjadinya bentrok atau konfik antara kepentingan manusia atau “conflict of human interest” (Post dalam Soerjono Soekanto, 1975: 35)
Dalam melindungi kepentingannya masing-masing, maka manusia di dalam masyarakat harus mengingat, memperhitungkan, menjaga dan menghormati kepentingan manusia lain, jangan sampai terjadi pertentangan atau konflik yang merugikan orang lain. Tidak boleh kiranya dalam melindungi kepentingannya sendiri, dalam melaksanakan haknya, berbuat semaunya, sehingga merugikan kepentingan manusia lain (eigenrichtig).
Jadi kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain. Kesadaran hukum mengandung sikap tepo sliro atau toleransi. Kalau saya tidak mau diperlakukan demikian oleh orang lain, maka saya tidak boleh memperlakukan orang lain demikian pula, sekalipun saya sepenuhnya melaksanakan hak saya. Kalau saya tidak suka tetangga saya berbuat gaduh di malam hari dengan membunyikan radionya keras-keras, maka saya tidak boleh berbuat demikian juga. Tepo sliro berarti bahwa seseorang harus mengingat, memperhatikan, memperitungkan dan menghormati kepentingan orang lain dan terutama tidak merugikan orang lain. Penyalah gunaan hak atau abus de droit seperti misalnya mengendarai sepeda motor milik sendiri yang diperlengkapi dengan knalpot yang dibuat sedemikian sehingga mengeluarkan bunyi yang keras sehingga memekakan telinga jelas bertentangan dengan sikap tepo sliro.
Kesadaran akan kewajiban hukum tidak semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum terhadap ketentuan undang-undang saja, tidak berarti kewajiban untuk taat kepada undang-undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak tertulis. Bahkan kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Kalau suatu peristtiwa terjadi secara terulang dengan teratur atau ajeg, maka lama-lama akan timbul pandangan atau anggapan bahwa memang demikianlah seharusnya atau seyogyanya dan hal ini akan menimbulkan pandangan atau kesadaran bahwa demikianlah hukumnya atau bahwa hal itu merupakan kewajiban hukum. Suatu peristiwa yang terjadi berturut-turut secara ajeg dan oleh karena itu lalu biasa dilakuan dan disebut kebiasaan, lama-ama akan mempunyai kekuatan mengikat (die normatieve Kraft des Faktischen).
Memang keadaan akan kewajiban hukum itu merupakan salah satu faktor untuk timbulnya hukum kebiasaan. Faktor lain untuk timbulnya hukum kebiasaan ialah terjadinya sesuatu yang ajeg. Akan tetapi kesadaran akan kewajiban hukum tidak perlu menunggu sampai terjadinya suatu peristiwa secara berulang. Suatu peristiwa cukup terjadi sekali saja untuk dapat memperoleh kekuatan mengikat asal peristiwa yang hanya terjadi sekali saja itu cukup menyebabkan timbulnya kesadaran bahwa peristiwa atau perbuatan itu seyogyanya terjadi atau dilakukan.





Kesimpulan
Dalam perkembangan hukum dan masyarakat yang semakin pesat, penekanan hukum pada kekuasaan mulai dikritisi dan diarahkan kepada rasionalitas substansif yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyrakat, sehingga diperlukan rematerialisasi hukum.
Hukum dibutuhkan oleh manusia karena hukum memiliki arti dan fungsi yang penting bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sulit rasanya membayangkan apabila suatu masyarakat tanpa adanya hukum. Mungkin akan terjadi kehancuran dalam keutuhan masyarakat. Arti pentingnya hukum bagi manusia dan masyarakat setidaknya dapat dilihat dari dua aspek. Pertama dengan melihat pada potensi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa. Kedua, melihat kepada potensi hukum untuk mempersatukan segenap unsur yang beragam di masyarkat.
Oleh karenanya seluruh struktur hukum yang menjadi tumpuan dari pencari keadilan haruslah menjalankan fungsi hukum itu sendiri sebagai mana mestinya. Jika mereka hanya asyik dengan pasal, ayat dari peraturan perundangan, karena mereka masih meninabobokan cara pandang legalisme yang menempatkan primat kepastian hukum di atas segala- galanya.
Sehingga ketika masyarakat tidak mentaati hukum bukan karena mereka tidak paham dan ingin melanggar hukum tetapi mereka merasa “dianaktirikan” di republik ini. Terbetik dalam nurani masyarakat “kita tidak harus mentaati aturan hukum secara mutlak jika ternyata diduga aparat penegak hukum telah membuat aturan tersebut sudah jauh dari nilai- nilai keadilan dalam masyarakat atau aparat penegak hukum diduga telah menghancurkan rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat”.
Dengan kata lain untuk menumbuhkan kesadaran hukum dalam masyarakat aparat hukum seperti hakim, jaksa, polisi, dan bahkan kepada pengacara yang memiliki motto maju terus membela yang benar. Haruslah membuktikan kepada masyarakat bahwa hokum yang berjalan betul-betul adil dan juga dapat mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat luas.
Hal ini menunjukkan betapa penting peran aparat penegak hukum dalam menjunjung tinggi kepastian hukum dan keadilan bagi setiap orang yang bermasalah dihadapan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Dwi Narwoko, J. & Bagong Suyanto (ed.) Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Kencana,
Jakarta, 2007.
Indrianto Senoadji.Humanisme dan pembaruan Penegakan Hukum. Kompas, Jakarta: 2009.
Mahfud MD, Kompas tgl 7 Januari 2010.
Sahri, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat. MHS S2 Hukum Untag.Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti. Bandung: 2000.
Sofia, Kesadaran Hukum Masyarakat dan Pengaruhnya bagi Efektivitas Perkembangan Hukum.


EFEK MENKONSUMSI MAKANAN INSTAN


WASPADAI MENGKONSUMSI MAKANAN INSTAN !!!!
OLEH
Haidar.S.Kep
PROGRAM STUDI NERS
STIKES PANAKKUKANG
MAKASSAR
2012
1.  PENGERTIAN
Makanan siap saji yang dimaksud adalah jenis makanan yang dikemas, mudah di sajikan, praktis, atau diolah dengan cara sederhana. Makanan siap saji biasanya berupa lauk pauk dalam kemasan, mie instan, nugget, atau juga corn flakes sebagai makanan untuk sarapan.
2.   DAMPAK NEGATIF MENGKONSUMSI MAKANAN INSTAN
WHO menyatakan bahwa ancaman potensial dari residu bahan makanan terhadap kesehatan manusia dibagi dalam 3 kategori yaitu:
1.   Aspek toksikologis (kategori residu bahan makanan yang dapat bersifat racun terhadap organ-organ tubuh)
2.   Aspek mikrobiologis (mikroba dalam bahan makanan yang dapat menganggu keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan)
3.   Aspek imunopatologis (keberadaan residu yang dapat menurunkan kekebalan tubuh)
Dampak negatif zat aditif berlebihan antara lain :
ü  Sulfit : Menyebabkan sesak nafas, gatal-gatal dan bengkak
ü  ZatWarna : Menimbulkan alergi, menimbulkan kanker hati
ü  MSG : Kerusakan otak dan penyebab kanker
ü  BHT dan BHA: Menyebabkan kelainan kromosom pada orang yang alergi terhadap aspirin
ü  Pemanis : Menyebabkan kanker kantong kemih, Gangguan saraf dan tumor otak.
3.  MAKANAN SEHAT
Makanan sehat ialah makanan yang mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh kita. Makanan sehat mengandung gizi seimbang, yaitu makanan yang sarat gizi dan baik di konsumsi oleh tubuh. Makanan sehat juga bebas dari bahan pengawet, penyedap, dan pewarna. Makanan sehat ialah makanan 4 sehat 5 sempurna dimana mengandung :
*      Karbohidrat : terdapat pada nasi, gandum, singkong, dan lain-lain
*      Protein : Banyak terdapat pada tahu, tempe, telur, daging, dll
*      Mineral : Banyak terdapat pada sayur – sayuran.
*      Vitamin : Banyak terdapat pada buah - buahan
*      Susu : Banyak mengandung kalsium yang baik untuk pertumbuhan.
Cloud Callout: Hindari konsumsi makanan instan kita. Makanlah makanan dalam bentuknya yang paling alami. Bagaimanapun, tubuh kita tidak diciptakan untuk menyerap dan memanfaatkan zat sintetis buatan manusia 







Minggu, 16 September 2012

BERPEGANG TEGUH KEPADA AL QUR’AN DAN SUNNAH


BERPEGANG TEGUH KEPADA AL QUR’AN DAN SUNNAH

            Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rosul dan taatilah pemimpin (penguasa) diantara kalian, apabila kalian berselisih pendapat tentang segala sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur'an) dan Ar Rosul (As Sunnah)
(Al Qur'an Surat An Nisa ayat 59)

Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shollalahu 'alaihi wassalam bersabda:                     “Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).”
 (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).

"Al-'irbadh bin syariah rodiyallahu'anhu berkata "suatu hari setelah sholat subuh, rosulullah shollalahu 'alaihi wassalam menasehati dengan satu nasehat yang begitu mendalam, hingga air mata kamipun mngalir dan hati-hati kamipun bergetar, kemudian berkatalah seseorang: "sungguh ini adalah nasehat orang yang mau berpisah, lalu apa yang akan engkau pesankan kepada kami wahai rosulullah shollalahu 'alaihi wassalam?
           
             " beliaupun bersabda "Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah subhanahu wata'ala, untuk mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyi (ethopia), karena sesungguhnya siapa diantara kalian yang nantinya masih hidup, dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa rasyidin (para sahabat) yang terbimbing dan mendapat petunjuk, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian (pegang erat-erat jangan sampai lepas), dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini (bid'ah), karena setiap bid'ah adalah kesesatan."
(HR. At - Tirmidzi no.2816 dan yang selainnya)