TUGAS
INDIVIDU
“HUKUM
BOBROK,
APARATPUN
KORUP”
RAFIUDDIN
086614063
JURUSAN
SOSIOLOGI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2012
A.Latar Belakang
Hukum adalah
sepenggal kata yang saat ini sering menghiasi pembicaraan masyarakat
dimana-mana. Bagi sebagian masyarakat, hukum merupakan
sepenggal kata yang memberikan mereka garansi untuk tetap bertahan
dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
dirasakan semakin hari, semakin tidak mampu memberikan harapan untuk
hidup manusiawi. Sebagian masyarakat yang lain,
menganggap hukum sebagai momok yang menakutkan, yang akan
merenggut hak dan menghancurkan peluang mereka untuk dapat hidup
layak, seperti yang dialami oleh masyarakat petani yang hidup di
pelosok pedesaan saat bersengketa dengan perusahaan-perusahaan besar
yang bermaksud mengambil alih lahan pertanian mereka.
Selain golongan
masyarakat yang disebutkan diatas, terdapat pula sebagian
masyarakat yang menganggap hukum sebagai
sesuatu yang sangat mereka butuhkan untuk mengembangkan kekuasaannya,
yakni golongan yang memiliki akses yang besar terhadap hukum
sehingga dapat menjadikan hukum sebagai sarana untuk menegakkan
kekuasaan dan penguasaannya di bidang-bidang tertentu, seperti
ekonomi dan politik. Realitas dalam dinamika kehidupan dewasa
ini menunjukkan secara nyata kepada kita semua bahwa
golongan-golongan tersebut diatas memang nyata adanya.
Hukum
Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat
yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang
kekuasaan untuk bertindak semena-mena.
Demikian pernyataan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Asep Yunan
Firdaus
Dalam
situasi seperti ini, hukum sedang berada pada kondisi stagnan yaitu,
situasi dimana negara gagal menjadikan sistem dan praktik hukum
memberikan keadilan kepada masyarakat miskin dan paling tertindas.”
Hukum Bobrok,
Aparat Korup.
Tahun 2011 boleh
dikatakan sebagai “tahun hukum”; bukan karena prestasi yang
diraih, tetapi justru karena banyaknya kasus hukum, termasuk di
antaranya yang melibatkan aparat penegak hukum. Survey JSI (Jaringan
Survey Indonesia) pada Oktober 2011 lalu menjadi potret bagaimana
tingkat kepuasan publik terhadap kinerja penegakkan hukum. Menurut
survey JSI, sebanyak 51,5 persen masyarakat Indonesia merasa tidak
puas dengan kinerja Presiden SBY dalam penegakan hukum.
Masih menurut
survey JSI, sejak juli 2009 hingga Oktober 2011, kepuasan publik
terhadap penegakan hukum semakin menurun. Hanya 31,1% yang menyatakan
penegakan hukum di Indonesia sudah sangat baik/baik. Mayoritas publik
merasakan penegakan hukum tidak mengalami kemajuan dan buruk/sangat
buruk. Publik juga menyoroti peran lima lembaga hukum lainnya, yakni
MK, MA, KPK, Polri dan Kejaksaan Agung. Dari kelima lembaga tersebut
semuanya memiliki tingkat ketidakpercayaan di atas 30%, artinya
hampir sepertiga penduduk Indonesia memiliki ketidakpercayaan
terhadap lembaga-lembaga hukum yang ada.
Survey JSI di atas
seolah menguatkan survey LSI (Lingkaran Survey Indonesia) sebelumnya
awal tahun 2011. Menurut hasil survey LSI, mayoritas publik (55%)
menilai ada banyak praktik mafia hukum di lembaga hukum. Hanya 17,4%
saja yang menilai jumlah mafia hukum kecil dan 1,2% saja yang menilai
tidak ada sama sekali mafia hukum di lembaga hukum. Ketidakpercayaan
publik pada lembaga dan aparat hukum cukup tinggi. Mayoritas publik
menilai aparat hukum bisa disuap dengan sejumlah uang untuk
memenangkan sebuah perkara hukum. Mayoritas publik (48,3%) menilai
aparat hukum yang bisa disuap jumlahnya banyak. Sebanyak 26,2%
menyatakan jumlahnya sedikit dan hanya 1,7% saja yang mengatakan
aparat hukum bersih dan tidak bisa disuap.
A. Kebobrokan
Hukum
Gambaran di atas
merupakan potret buram hukum di Indonesia. Setidaknya Ada
tiga problem turunan yang akan terus menjadi permasalahan dalam
sistem demokrasi sekular yang menyerahkan pembuatan hukum kepada
manusia.
Pertama:
akan terus terjadi jual-beli pasal. Adanya kewenangan manusia membuat
undang-undang akan membuka peluang negosiasi dari pihak-pihak yang
memiliki kepentingan terhadap suatu undang-undang. Dengan nada
bercanda, seorang teman mengatakan, di DPR itu “setiap pasal pasti
ada pasar-nya”. Ungkapan tersebut bukan isapan jempol. Bahkan
secara terbuka Ketua MK Mahfud MD menyebutkan beberapa contoh, yakni
kasus korupsi aliran dana YPP BI yang diduga mengalir ke DPR sebesar
Rp 31,5 miliar dan ke pengacara sekitar Rp 68 miliar. Berikutnya
kasus di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yakni dugaan suap
untuk membayar Undang-Undang APBN Perubahan. Yang lebih
memprihatinkan adalah penggunaan dana abadi umat sebesar Rp 1,5
miliar yang digunakan untuk membayar anggota dewan untuk mengegolkan
Undang-Undang Wakaf.
Kedua:
materi UU yang dilahirkan pasti tidak sempurna dan banyak kekurangan.
Suatu
keniscayaan, jika manusia sebagai makhluk yang lemah dan banyak
memiliki kekurangan membuat UU maka pasti UU yang dihasilkan jauh
dari sempurna dan akan banyak terjadi kekurangan. Di Indonesia,
sejak
2003 hingga 9 November 2011 ada 406 kali pengajuan uji materil UU ke
MK. Ini adalah bukti konkret, bahwa banyak ketidakpuasan publik
terhadap UU yang dibuat.
Ketiga:
tak bisa dihindari, pembuat UU pasti akan menjamin bahwa UU yang
dibuat akan menguntungkan diri dan kelompoknya. Sebagai contoh,
pembahasan RUU perubahan UU Pemilu melahirkan tarik-menarik
kepentingan. Partai-partai besar seperti Partai Demokrat, Partai
Golkar dan PDI-P mengusulkan batas minimal perolehan suara partai
(Parlementary
Threshold)
di DPR minimal 5%, sedangkan partai-partai kecil tetap berjuang dan
berharap angka 3% sebagai batas minimal. Masing-masing pihak
mengajukan alasan. Namun, apapun alasan yang dikemukakan, alasan
utamanya tetap satu: kepentingan. Karena itu, dalam sistem demokrasi,
hukum sulit diharapkan menghadirkan keadilan, karena manusia sarat
dengan kepentingan.
B. Aparat dan
Birokrat Korup
Selain kebobrokan
dan cacatnya hukum, banyaknya aparat hukum dan birokrasi yang korup
semakin melengkapi keterpurukan bangsa ini. Di lembaga peradilan,
Komisi Yudisial (KY) mengungkapkan percatur wulan kedua (Januari -
Agustus 2011) pihaknya telah menerima laporan dari masyarakat dan
data lainnya sebanyak 1.169 laporan.
Kebobrokan aparat
penegak hukum lainnya, yakni Jaksa, tak kalah memprihatinkan. Jaksa
Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy menyatakan, sepanjang tahun 2011
Komisi Kejaksaan Agung telah menerima sebanyak 1.500 laporan dari
masyarakat terkait jaksa yang melakukan penyimpangan. Aparat penegak
hukum lainnya di kepolisian pun tak lepas dari masalah. Bahkan hanya
dalam waktu sebulan, Polda Metro Jaya menerima 26 kasus yang diduga
melibatkan anggota kepolisian. Dari jumlah pengaduan tersebut, ada 38
anggota kepolisian yang diduga bermasalah. Yang lebih mengejutkan,
tahun 2011 ini institusi kepolisian “diuji” dengan masalah besar,
yakni terungkapnya aliran dana dari PT Freeport sebesar $14 Juta yang
berpotensi melanggar hukum karena bisa terkategori gratifikasi.
C.
UU Represif dan Liberal
Sistem demokrasi
sekular memang menjamin kebebasan dalam semua hal, tetapi kebebasan
itu tidak berlaku jika ide atau gerakan yang berkembang justru
mengancam demokrasi itu sendiri. Maka dari itu, sistem demokrasi akan
membuat mekanisme pertahanan diri untuk menjamin agar sistem tersebut
tetap berjalan dan akan mematikan ideologi lain yang berpotensi
mengancam eksistensi demokrasi, termasuk di antaranya, menyiapkan
perangkat hukum yang berpotensi represif dan membungkam serta
mengancam hak-hak publik.
Saat ini UU yang
“berhasil” digolkan adalah UU Terorisme dan UU Intelijen.
Berikutnya, sejumlah RUU sedang disiapkan, yakni RUU Kemananan
Nasional (Kamnas) dan RUU Ormas. Sejak UU Terorisme efektif
diberlakukan, sudah banyak sekali korban berjatuhan. Tercatat,
sekitar 600 orang dijebloskan ke penjara dengan tuduhan melakukan
tindak terorisme dan sekitar 50 orang ‘dieksekusi’ karena baru
diduga teroris atau terkait jaringan teroris. Tahun 2011 ini UU
Intelijen pun disahkan. UU ini juga berpotensi mengancam kebebasan
serta hak-hak publik. Multitafsirnya definisi “ancaman nasional”
akan sangat memungkinkan penyalahgunaan kepentingan politik
kekuasaan. Kewenangan intelijen tentang penggalian informasi juga
berpotensi melahirkan rezim intel. Sikap represif akan terulang.
Penculikan akan menjadi tradisi yang dilakukan oleh pihak intelijen
hanya karena alasan demi “keamanan nasional”.
UU Intelijen tentu
tidak lengkap dan kurang powerfull
tanpa adanya UU Keamanan Nasional (Kamnas). Walau masih RUU (per 3
Desember 2011), jika disahkan UU ini berpotensi melegalkan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power)
oleh Presiden. Pasalnya, dalam RUU tersebut Presiden berwenang
menentukan hal-hal apa saja yang menjadi ancaman nasional aktual
maupun ancaman potensial. Paket UU/RUU represif semakin sempurna
dengan rencana pengesahan RUU Ormas yang akan memantau, mengontrol
dan mengendalikan keberadaan Ormas.
Selain itu,
penerapan sistem hukum sekular secara pasti membuka lebar lahirnya UU
liberal yang sarat kepentingan asing. Sebut saja UU PMA, UU MIGAS, UU
SDA, UU Perbankan, dan UU Kelistrikan. Tahun 2011 ini, DPR telah
mengesahkan UU yang semakin meyakinkan kita bahwa negara ini adalah
negara yang menganut paham neoliberal. Sebut saja UU BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial) yang lahir karena “amanat” UU SJSN
(Sistem Jaminan Sosial Nasional). Walaupun oleh sebagian pihak
pengesahan UU ini merupakan kemenangan rakyat, sejatinya kedua UU
tersebut justru akan membebani rakyat. Pasalnya, isinya bukanlah
jaminan sosial yang akan diterima rakyat, melainkan kewajiban rakyat
memiliki asuransi sosial. UU SJSN dan BPJS adalah bukti Pemerintah
berlepas tangan terhadap kewajibannya mengurus rakyat.
Selain UU BPJS, RUU
yang saat ini sedang dibahas yakni RUU Pendidikan Tinggi (PT) yang
juga bermuatan liberal, karena diduga hanya sekadar “mengganti
baju” UU BHP yang sebelumnya dibatalkan MK.
Rekomendasi
Kebobrokan hukum di
Indonesia berawal karena penerapan sistem demokrasi yang menyerahkan
kewenangan membuat hukum kepada manusia. Hal ini terlihat jelas pada
“sektor hulu”, yakni pada saat undang-undang dibuat. Di
Indonesia, penyusunan dan pengesahan undang-undang ada di tangan 550
orang anggota dewan yang dipilih oleh rakyat. Hal inilah yang
sejatinya menjadi akar permasalahan hukum di negara manapun, termasuk
tentunya di Indonesia. Maka dari itu, kasus jual-beli pasal, konten
UU yang memiliki banyak celah, kekurangan dan kepentingan kelompok
termasuk asing akan tetap terus terjadi.
Kebobrokan aparat
dan birokrat pun tidak bisa dilepaskan dari penerapan hukum sekular.
Penerapan sistem hukum sekular yang menghilangkan peran agama untuk
mengatur negara menjadikan aparat dan birokrat tidak merasa diawasi
oleh Allah SWT. Padahal pengawasan melekat sangatlah penting untuk
meminimalisasi terjadinya praktik korup aparat. Sebagai contoh,
seorang hakim yang memutuskan perkara bukan dengan hukum Allah SWT,
pasti akan melupakan Allah SWT. Berbeda halnya dengan seorang hakim
(qadhi)
yang memutuskan perkara dengan hukum Allah SWT, secara otomatis
kesadarannya terpantik, merasa diawasi terus oleh Allah SWT.
Maka dari itu,
penerapan hukum Allah SWT (syariah Islam) secara totalitas (kaffah)
akan menghentikan problem hukum yang selama ini terjadi dalam sistem
hukum sekular dan secara otomatis akan menjadikan aparat penegak
hukum dan birokrat menaati dan merasa diawasi oleh Allah SWT. [Luthfi
Affandi, SH]
Daftar
pustaka
Luthfi Affandi, SH.
Hukum
Bobrok, Aparat Korup.
Jakarta; Humas DPD I HTI Jabar
Jusuf kalla,
(mediaindonesia.com, 31/1/2012)